Friday, April 17, 2015

Fanfict JKT48 : 4 Senbatsu - Episode 02

Segmen 1.2 : Misi Penjemputan



Sementara di ruangan backstage teater, Achay menunggu dengan cemas bercampur takut. Mata sayunya memperhatikan terus - menerus bayangan di bawah daun pintu yang terkunci. Ia harusnya sudah akrab dengan pintu itu karena setiap berangkat dan pulang, kebelet, laper, baper dll selalu melewatinya. Bahkan banyak member yang menggunakan pintu itu sebagai background foto2 selfienya.


Tapi sekarang, di waktu yang berbeda, pintu itu terlihat menyeramkan dengan bayangan yang terbentuk oleh sesuatu di baliknya. Bayangan itu terlihat di bawah pintu, bergerak-gerak ke kanan ke kiri seperti bayang-bayang orang yang sedang mondar-mandir. Ia lalu berjalan mundur perlahan menjauhi pintu berusaha tanpa mengeluarkan suara. Ia melihat sekeliling lalu meraih sebatang sapu dan menggenggamnya seperti ksatria berpedang yang hendak menyerang. Sesaat kemudian bayangan itu menghilang, bersamaan dengan cahaya bulan yang tertutup awan.


“ Lama banget sii mereka... “ Achay menggerutu dalam hati. Ia berkeliling ruang ganti, mencari kalau saja ada member lain yang juga tertinggal atau tertidur. Kalau saja ada teman, keadaan tidak akan seseram ini. Tapi sepertinya tidak ada tempat lain yang nyaman dan aman untuk tidur selain tempatnya pertama terbangun tadi.


Lama mencari sampai akhirnya tidak menemukan siapapun, ia berpikir untuk bergerak ke ruangan foyer dan melihat keadaan lewat pintu yang satunya. Sepertinya akan lebih tenang daripada harus terus di sini, bayangan di balik seifuku-seifuku yang tergantung dan pantulan cermin membuatnya takut. Tapi ia juga takut kalau dia keluar, sesuatu di balik pintu samping juga akan melihatnya. Dan ia pun takut kalau harus melihat sesuatu yang menakutkan nantinya. Mungkin benar gosip yang beredar kalau terlalu banyak kata takut di paragraf ini(?).


Perasaannya beradu antara gelisah, penasaran, takut dan sedikit menyesal. Menyesal karena kecerobohannya sendiri ia sampai di sini, malam ini, sendiri, jomblo lagi(?). Baru ia mengalami sendiri suasana teater tanpa penghuni di tengah malam ternyata cukup membuat nyali menciut(?).


Setelah menimbang, membayangkan, dan memutuskan ia akan mengintip sedikit demi sedikit melalui pintu jeruji baja yang lurus ke area penukaran tiket di depan. Apapun resikonya akan ia hadapi, karena hidup adalah pilihan(?). Jika akhirnya bertemu sesuatu yang menakutkan, ia akan mengeluarkan senjata terbaiknya yaitu... pingsan.


“ Mana mungkin itu setan. Kalau bener setan masa gak masuk aja nembus pintu..?? Tapi kalo bukan setan berarti orang. Atauuu... setannya pemalu kali ya? Duh, kenapa jadi macem-macem gini pikirannya “


Achay membuka pintu ke ruang tengah dengan hati-hati. Telinganya ia siagakan selalu, meyakinkan kalau dirinya hanya sendirian di sana. Jari-jarinya menggrepe-grepe mencari sakelar lampu. ‘klik!’ suara yang dibuatnya agak keras, Achay mematung sejenak, memantau situasi jika ada yang bereaksi atas suara dan cahaya yang ia buat.


Degup jantungnya bertambah cepat. Sedetik, dua detik, tiga detik hanya suara angin dan kendaraan dari jalanan di luar. Untunglah gak ada suara Kang baso, cilok, batagor, nasgor  dan kawan-kawan, bisa jadi tambah masalah kalau ia juga menjadi merasa lapar.


Batang sapu itu masih dipegangnya. Kaki mungilnya yang tak mengenakan alas berjingkat perlahan meninggalkan jejak basah karena keringat dan embun yang terbentuk di permukaan lantai akibat dinginnya udara malam. Achay berlari pendek, berlindung di balik tembok, lalu mengintip-intip situasi di luar pintu jeruji yang tergembok. Tak ada apapun. Kalau saja ada seorang saja yang lewat, apalagi kalo dia wota, betapapun standarnya penampilannya pasti akan sangat beruntung bisa diingat selamanya karena menolong putri tidur nan malang yang terbangun di tengah situasi yang sangat mencekam ini(?).


Achay berjongkok lalu bersandar ke tembok, masih di tempat terakhir tadi. Lama-lama ia merasa mengantuk lagi. Sudah kira-kira 24 menit sejak ia terakhir kali berbicara dengan kak Pe, tapi mereka berdua belum sampai juga. Tapi rasa takutnya akan sesuatu yang tidak ia ketahui masih lebih kuat daripada rasa kantuknya. Tiba-tiba ia merasakan rambutnya tertarik oleh sesuatu di belakang! ( JENGJENG! - backsound khas film horor.. ).


Pegangannya sangat kuat, padahal dari dia tidak merasakan kehadiran seorangpun. Matanya memejam, bibirnya bergerak-gerak seperti akan mengucapkan sesuatu tapi tak kunjung mengeluarkan suara. Ia juga tak bisa lari karena tak ingin rambutnya rontok. Sambil menggerakkan kepalanya menjauh, ia beranikan diri mengirim tangannya menelusuri rambutnya yang terasa ditahan oleh sesuatu itu. Tanpa menoleh ke belakang, ke bagian belakang sepeda..(?), ia merasakan ujung jarinya menyentuh sesuatu. Dingin, kenyal, dan... lengket. “ Aaaakkhhh! “ pekiknya dengan suara tertahan.


Pelan-pelan ia melepaskan rambut yang menempel di tembok gara-gara permen karet(!) yang ditaroh oleh orang iseng. Rasa takut pun seketika berganti menjadi jengkel, jijik, sebal dan marah, “ siapa sih yang iseng nempelin di sini iihhh.. kzl kzl kzl! “. Benda lengket itu dilemparkannya ke lantai sehingga menjadi onggokan tak berdaya, kotor dan terabaikan. Akan tetapi, setidaknya ia beruntung pernah nempel di rambut member(?).


 Di tengah kekesalannya yang mencuat-cuat, terdengar suara langkah sepatu di lantai dasar, dua orang, ia berharap itu Kak Pe dan Jaenab. Tapi aneh, yang satu berlari terburu-buru, dan yang satu lagi berjalan pelan. Ia membayangkan seseorang yang sedang dikejar oleh zombie. Sebentar saja tak ada suara lagi, mereka naik lift! Omaigad! Jangan-jangan orang itu sudah tertangkap dan zombie itu sedang menikmati *-nya di dalam lift ( *diganti dengan bintang karena kata-kata aslinya terlalu disturbing & tidak lolos sensor KPI(?) ).


“ Chay... Achay...? “


Tak lama kemudian setelah pintu lift terbuka, beberapa langkah sepatu kembali terdengar dan ada juga suara orang berbisik dari kejauhan yang sepertinya memanggil namanya. Itukah suara kak Pe? Achay segera bangkit menuju pintu jeruji lalu memberi kode balasan dengan suara pelan juga.


“ Kak Pe, di sini ...! “


*prang tang tang tang..!!* Suara benda logam berat jatuh mengenai lantai. Tampaknya seorang dari mereka tak sengaja menjatuhkannya.


“ SSSttttt...! “ suara orang yang satunya memperingatkan.


Dari arah kanan mulai tampak bayangan dua orang dengan tinggi berbeda. Yang berbayangan pendek seperti memegang tongkat baseball di tangan kanan dan gergaji di tangan kiri. Achay masih belum yakin kalau mereka orang yang ia harapkan dan menjadi semakin khawatir teringat pem-lageb yang sedang marak akhir-akhir ini. Bisa jadi kan mereka merasa tergusur dari daerah jajahannya karena mulai banyak polisi yang berpatroli, lalu mereka beralih ke mall-mall yang sepi di malam hari? Sereemmm!


Tapi kecemasannya luruh seketika begitu seorang menyerupai bidadari nan anggun jelita muncul dengan cahaya putih menyilaukan yang bersinar dari belakang seakan menggantikan sepasang sayap yang absen di punggungnya ( lebaaay!! ). Dengan berjalan sambil merapat di dinding seperti di film-film spy, sesosok Kang bajay mengikuti bidadari itu dengan berjaga-jaga di belakangnya. Mereka bergerak lebih cepat begitu melihat Achay di hadapannya.


“ Ay, ini kamu beneran kan? “ Tanya Pe.


“ Iyalah kak ini aku “, Achay meluapkan kelegaannya dengan memeluk Pe meskipun dari balik jeruji. Dia nampak senang sekali mengetahui ternyata itu benar mereka berdua.


*Pletakk!!!* “ Aduh! Sakit kak! “, Pe menjitak jidat Achay dan mencubit pipinya  untuk membuktikan kalau dia asli dan nyata, bukan orang yang sedang menyamar dengan dalih supertrep atau sejenis kage-bunshinnya Naroto.


Setelah yakin asli, Ia bergerak cepat mengeluarkan alat-alat kecilnya yang ia yakin juga dengan itu bisa membuka gembok besar di hadapannya tanpa kunci. Sekian lama mencoba tak kunjung berhasil, Nab yang berjaga di belakang Pe mulai tidak sabar.


“ Bisa gak Kak? Lama amat, keburu bertelor wa di sini nih.. ” Ujar Nab.


Setelah satu menit empat puluh delapan detik akhirnya gembok pertama berhasil dibuka. Ya benar, pertama, karena masih ada dua gembok lagi di rantai atas dan bawah. Lo pikir gampang jebol teater? Lol.


“ Pake ini aja Kak biar cepet!... “ Nab menyodorkan gergaji besinya. Tapi tangan Pe yang lembut gak shanggup memakainya. Dan memang akhirnya cuman tangan orang terpilih dengan kekuatan kang bajay yang diberkahi yang bisa menggunakan gergaji besi legend itu.


“ Nah tuh bisa cepet kenapa gak dari tadi? “ Ungkap Pe yang kagum dengan kemampuan Jaenab memotong rantai lebih cepat dari dugaannya.


“ Kak Pe juga gak bilang dari tadi. Aku kira gak boleh ngerusak, itu kan properti the Godfather...


“ Gak apa-apa, besok aku yang bilang sama beliau. Lagian dari tadi kamu serius sendiri kayak lagi perang aja. Jalan ngadep belakang, celingak-celinguk, repot sendiri bawa tas keliatannya berat banget isinya apa aja coba. Untung gak kepentok atau kesandung kan malah tambah repot.. “


“ Iya tuh lebay tengab. Jae mah serem bawaanya doang gergaji sama pentungan, tapi kalo di teater performnya Tenshippo sama Idol Nante, jauuuuhhh bangeettt! wwkwkk :v “ Ujar Achay menimpali.


“ Bicik lau, ikut2an jaa. Mau selamet gak? Wa cipok juga u! Gak tau sih lau pade, sekarang kan jaman orang gak liat orang. Kalo gak ‘maximum security’ bisa the end kita apalagi ini tempat sepi. “ Balas Jaenab.


“ Iya tapi gak usah lebay gitu. Kalo kamu bawa-bawa begituan bisa-bisa malah kamu yang disangka penjahatnya. Lagipula ada kata pepatah, ‘Jangan melawan kekerasan dengan kekerasan, tapi lunakkanlah dengan kelembutan hati’ ... “ Kata Pe menengahi.


“ Aiihh, sa ae Kak Pe, gak shanggup deh penjahat kalo ma kak Pe.. . E..tapi ngomeng2, itu pepatah dari mana ya, gak pernah denger wa? :v “ *Plakk!*tepokjidat - ternyata ngarang*


Singkat cerita mereka berhasil membuka semua rantai di pintu itu dan membebaskan Achay.


“ Kamu gak apa-apa kan Chay? “ Tanya Pe.


“ Laper Kak! Tolonglah .. “ Jawab Nab main samber aja padahal yang ditanya si Achay.


“ Gapapa Kak, kita langsung cabut aja yuk. Perasaan aku gak enak di sini. Kepala aku juga rasanya agak pusing nih Kak.. “ Kata Achay.


“ Ya udah cepetan. Kita lanjutin ngobrolnya di rumah aja ntar “ Kata Pe sambil menata kembali peralatannya.

Achay pun segera mengambil barang2 bawaannya. Lalu dengan mengucap permisi entah ke siapa, dia, Pe, dan Nab cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Mereka tidak mengetahui perasaan aneh apa yang mengusik mereka untuk cepat-cepat menjauh. Seperti sesuatu yang tak ingin diganggu. Atau hanya perasaan mereka saja. Angin malam masuk lewat celah-celah sempit, menggoyang-goyang banner yang menggantung diterpa cahaya rembulan dari atap yang tembus ke langit. Bayangan itu masih saja mondar-mandir di bawah pintu.

Bersambung...
----

No comments:

Post a Comment