Sementara
di ruangan backstage teater, Achay menunggu dengan cemas bercampur takut. Mata
sayunya memperhatikan terus - menerus bayangan di bawah daun pintu yang
terkunci. Ia harusnya sudah akrab dengan pintu itu karena setiap berangkat dan
pulang, kebelet, laper, baper dll selalu melewatinya. Bahkan banyak member yang
menggunakan pintu itu sebagai background
foto2 selfienya.
Tapi
sekarang, di waktu yang berbeda, pintu itu terlihat menyeramkan dengan bayangan
yang terbentuk oleh sesuatu di baliknya. Bayangan itu terlihat di bawah pintu,
bergerak-gerak ke kanan ke kiri seperti bayang-bayang orang yang sedang
mondar-mandir. Ia lalu berjalan mundur perlahan menjauhi pintu berusaha tanpa
mengeluarkan suara. Ia melihat sekeliling lalu meraih sebatang sapu dan
menggenggamnya seperti ksatria berpedang yang hendak menyerang. Sesaat kemudian
bayangan itu menghilang, bersamaan dengan cahaya bulan yang tertutup awan.
“ Lama
banget sii mereka... “ Achay
menggerutu dalam hati. Ia berkeliling ruang ganti, mencari kalau saja ada
member lain yang juga tertinggal atau tertidur. Kalau saja ada teman, keadaan
tidak akan seseram ini. Tapi sepertinya tidak ada tempat lain yang nyaman dan
aman untuk tidur selain tempatnya pertama terbangun tadi.
Lama
mencari sampai akhirnya tidak menemukan siapapun, ia berpikir untuk bergerak ke
ruangan foyer dan melihat keadaan lewat pintu yang satunya. Sepertinya akan
lebih tenang daripada harus terus di sini, bayangan di balik seifuku-seifuku
yang tergantung dan pantulan cermin membuatnya takut. Tapi ia juga takut kalau
dia keluar, sesuatu di balik pintu samping juga akan melihatnya. Dan ia pun
takut kalau harus melihat sesuatu yang menakutkan nantinya. Mungkin benar gosip
yang beredar kalau terlalu banyak
kata ‘takut’
di paragraf ini(?).
Perasaannya
beradu antara gelisah, penasaran, takut dan sedikit menyesal. Menyesal karena
kecerobohannya sendiri ia sampai di sini, malam ini, sendiri, jomblo lagi(?).
Baru ia mengalami sendiri suasana teater tanpa penghuni di tengah malam
ternyata cukup membuat nyali menciut(?).
Setelah
menimbang, membayangkan, dan memutuskan ia akan mengintip sedikit demi sedikit
melalui pintu jeruji baja yang lurus ke area penukaran tiket di depan. Apapun
resikonya akan ia hadapi, karena hidup adalah pilihan(?). Jika akhirnya bertemu
sesuatu yang menakutkan, ia akan mengeluarkan senjata terbaiknya yaitu... pingsan.
“ Mana
mungkin itu setan. Kalau bener setan masa gak masuk aja nembus pintu..?? Tapi
kalo bukan setan berarti orang. Atauuu... setannya pemalu kali ya? Duh, kenapa
jadi macem-macem gini pikirannya “
Achay
membuka pintu ke ruang tengah dengan hati-hati. Telinganya ia siagakan selalu,
meyakinkan kalau dirinya hanya sendirian di sana. Jari-jarinya menggrepe-grepe mencari sakelar lampu.
‘klik!’ suara yang dibuatnya agak keras, Achay mematung sejenak, memantau
situasi jika ada yang bereaksi atas suara dan cahaya yang ia buat.
Degup
jantungnya bertambah cepat. Sedetik, dua detik, tiga detik hanya suara angin
dan kendaraan dari jalanan di luar. Untunglah gak ada suara Kang baso, cilok,
batagor, nasgor dan kawan-kawan, bisa
jadi tambah masalah kalau ia juga menjadi merasa lapar.
Batang sapu
itu masih dipegangnya. Kaki mungilnya yang tak mengenakan alas berjingkat
perlahan meninggalkan jejak basah karena keringat dan embun yang terbentuk di
permukaan lantai akibat dinginnya udara malam. Achay berlari pendek, berlindung
di balik tembok, lalu mengintip-intip situasi di luar pintu jeruji yang
tergembok. Tak ada apapun. Kalau saja ada seorang saja yang lewat, apalagi kalo
dia wota, betapapun standarnya penampilannya pasti akan sangat beruntung bisa
diingat selamanya karena menolong putri tidur nan malang yang terbangun di
tengah situasi yang sangat mencekam ini(?).
Achay
berjongkok lalu bersandar ke tembok, masih di tempat terakhir tadi. Lama-lama
ia merasa mengantuk lagi. Sudah kira-kira 24
menit sejak ia terakhir kali berbicara dengan kak Pe, tapi mereka berdua belum
sampai juga. Tapi rasa takutnya akan sesuatu yang tidak ia ketahui masih lebih
kuat daripada rasa kantuknya. Tiba-tiba ia merasakan rambutnya tertarik oleh
sesuatu di belakang! ( JENGJENG! - backsound khas film horor.. ).
Pegangannya
sangat kuat, padahal dari dia tidak merasakan kehadiran seorangpun. Matanya
memejam, bibirnya bergerak-gerak seperti akan mengucapkan sesuatu tapi tak
kunjung mengeluarkan suara. Ia juga tak bisa lari karena tak ingin rambutnya
rontok. Sambil menggerakkan kepalanya menjauh, ia beranikan diri mengirim
tangannya menelusuri rambutnya yang terasa ditahan oleh sesuatu itu. Tanpa
menoleh ke belakang, ke bagian belakang sepeda..(?), ia merasakan ujung jarinya
menyentuh sesuatu. Dingin, kenyal, dan... lengket. “ Aaaakkhhh! “ pekiknya
dengan suara tertahan.
Pelan-pelan
ia melepaskan rambut yang menempel di tembok gara-gara permen karet(!) yang
ditaroh oleh orang iseng. Rasa takut pun seketika berganti menjadi jengkel,
jijik, sebal dan marah, “ siapa sih yang iseng nempelin di sini iihhh.. kzl kzl
kzl! “. Benda lengket itu dilemparkannya ke lantai sehingga menjadi onggokan
tak berdaya, kotor dan terabaikan. Akan tetapi, setidaknya ia beruntung pernah
nempel di rambut member(?).
Di tengah kekesalannya yang mencuat-cuat,
terdengar suara langkah sepatu di lantai dasar, dua orang, ia berharap itu Kak
Pe dan Jaenab. Tapi aneh, yang satu berlari terburu-buru, dan yang satu lagi
berjalan pelan. Ia membayangkan seseorang yang sedang dikejar oleh zombie.
Sebentar saja tak ada suara lagi, mereka naik lift! Omaigad! Jangan-jangan orang itu sudah tertangkap dan zombie itu
sedang menikmati *-nya di dalam lift
( *diganti dengan bintang karena kata-kata aslinya terlalu disturbing
& tidak lolos sensor KPI(?) ).
“ Chay...
Achay...? “
Tak lama
kemudian setelah pintu lift terbuka, beberapa langkah sepatu kembali terdengar
dan ada juga suara orang berbisik dari kejauhan yang sepertinya memanggil
namanya. Itukah suara kak Pe? Achay segera bangkit menuju pintu jeruji lalu
memberi kode balasan dengan suara pelan juga.
“ Kak Pe,
di sini ...! “
*prang tang tang tang..!!* Suara benda
logam berat jatuh mengenai lantai. Tampaknya seorang dari mereka tak sengaja
menjatuhkannya.
“
SSSttttt...! “ suara orang yang satunya memperingatkan.
Dari arah
kanan mulai tampak bayangan dua orang dengan tinggi berbeda. Yang berbayangan
pendek seperti memegang tongkat baseball di tangan kanan dan gergaji di tangan
kiri. Achay masih belum yakin kalau mereka orang yang ia harapkan dan menjadi
semakin khawatir teringat pem-lageb
yang sedang marak akhir-akhir ini. Bisa jadi kan mereka merasa tergusur dari
daerah jajahannya karena mulai banyak polisi yang berpatroli, lalu mereka
beralih ke mall-mall yang sepi di malam hari? Sereemmm!
Tapi
kecemasannya luruh seketika begitu seorang menyerupai bidadari nan anggun
jelita muncul dengan cahaya putih menyilaukan yang bersinar dari belakang
seakan menggantikan sepasang sayap yang absen di punggungnya ( lebaaay!! ).
Dengan berjalan sambil merapat di dinding seperti di film-film spy, sesosok Kang bajay mengikuti
bidadari itu dengan berjaga-jaga di belakangnya. Mereka bergerak lebih cepat
begitu melihat Achay di hadapannya.
“ Ay, ini
kamu beneran kan? “ Tanya Pe.
“ Iyalah
kak ini aku “, Achay meluapkan kelegaannya dengan memeluk Pe meskipun dari
balik jeruji. Dia nampak senang sekali mengetahui ternyata itu benar mereka
berdua.
*Pletakk!!!* “ Aduh! Sakit kak! “, Pe
menjitak jidat Achay dan mencubit pipinya
untuk membuktikan kalau dia asli dan nyata, bukan orang yang sedang
menyamar dengan dalih supertrep atau sejenis kage-bunshinnya Naroto.
Setelah
yakin asli, Ia bergerak cepat mengeluarkan alat-alat kecilnya yang ia yakin
juga dengan itu bisa membuka gembok besar di hadapannya tanpa kunci. Sekian
lama mencoba tak kunjung berhasil, Nab yang berjaga di belakang Pe mulai tidak
sabar.
“ Bisa gak
Kak? Lama amat, keburu bertelor wa di sini nih.. ” Ujar Nab.
Setelah
satu menit empat puluh delapan detik akhirnya gembok pertama berhasil dibuka.
Ya benar, pertama, karena masih ada dua gembok lagi di rantai atas dan bawah.
Lo pikir gampang jebol teater? Lol.
“ Pake ini
aja Kak biar cepet!... “ Nab menyodorkan gergaji besinya. Tapi tangan Pe yang
lembut gak shanggup memakainya. Dan
memang akhirnya cuman tangan orang terpilih dengan kekuatan ‘kang bajay yang diberkahi’
yang bisa menggunakan gergaji besi legend
itu.
“ Nah tuh
bisa cepet kenapa gak dari tadi? “ Ungkap Pe yang kagum dengan kemampuan Jaenab
memotong rantai lebih cepat dari dugaannya.
“ Kak Pe
juga gak bilang dari tadi. Aku kira gak boleh ngerusak, itu kan properti the Godfather... “
“ Gak
apa-apa, besok aku yang bilang sama beliau. Lagian dari tadi kamu serius
sendiri kayak lagi perang aja. Jalan ngadep belakang, celingak-celinguk, repot sendiri bawa tas keliatannya berat banget
isinya apa aja coba. Untung gak kepentok atau kesandung kan malah tambah
repot.. “
“ Iya tuh
lebay tengab. Jae mah serem bawaanya doang gergaji sama pentungan, tapi kalo di
teater performnya Tenshippo sama Idol Nante, jauuuuhhh bangeettt! wwkwkk :v “ Ujar Achay menimpali.
“ Bicik
lau, ikut2an jaa. Mau selamet gak? Wa cipok juga u! Gak tau sih lau pade,
sekarang kan jaman orang gak liat orang. Kalo gak ‘maximum security’ bisa the
end kita apalagi ini tempat sepi. “ Balas Jaenab.
“ Iya tapi
gak usah lebay gitu. Kalo kamu bawa-bawa begituan bisa-bisa malah kamu yang
disangka penjahatnya. Lagipula ada kata pepatah, ‘Jangan melawan kekerasan
dengan kekerasan, tapi lunakkanlah dengan kelembutan hati’ ... “ Kata Pe menengahi.
“ Aiihh, sa
ae Kak Pe, gak shanggup deh penjahat kalo ma kak Pe.. . E..tapi ngomeng2, itu pepatah dari mana ya, gak pernah denger wa? :v “ *Plakk!*tepokjidat - ternyata
ngarang*
Singkat
cerita mereka berhasil membuka semua rantai di pintu itu dan membebaskan Achay.
“ Kamu gak
apa-apa kan Chay? “ Tanya Pe.
“ Laper
Kak! Tolonglah .. “ Jawab Nab main samber aja padahal yang ditanya si Achay.
“ Gapapa
Kak, kita langsung cabut aja yuk. Perasaan
aku gak enak di sini. Kepala aku juga rasanya agak pusing nih Kak.. “ Kata Achay.
“ Ya udah
cepetan. Kita lanjutin ngobrolnya di rumah aja ntar “ Kata Pe sambil menata kembali peralatannya.
Achay pun segera mengambil barang2 bawaannya. Lalu dengan
mengucap permisi entah ke siapa, dia, Pe, dan Nab cepat-cepat meninggalkan
tempat itu. Mereka tidak mengetahui perasaan aneh apa yang mengusik mereka
untuk cepat-cepat menjauh. Seperti sesuatu yang tak ingin diganggu. Atau hanya
perasaan mereka saja. Angin malam masuk lewat celah-celah sempit,
menggoyang-goyang banner yang menggantung diterpa cahaya rembulan dari atap
yang tembus ke langit. Bayangan itu masih saja mondar-mandir di bawah pintu.
No comments:
Post a Comment